Museum Misi Muntilan

Museum khusus yang menekankan pengembangan nilai - nilai karya misi Keuskupan Agung Semarang ( KAS ) rintisan Pater Frans Van Lith, SJ yang menyajikan koleksi atau peristiwa masa lampau pada kini dan sekaligus menjadikan peristiwa sejarah itu sebagai dasar yang kokoh untuk membangun masa depan.

Kawasan Situs Misi Muntilan

Muntilan dikenal sebagai Bethlehem of Java yang menjadi awal tumbuhnya kekatolikan di tanah Jawa.

Kisah Misi Jawa di Museum Misi Muntilan

Garis ungu menunjukkan aneka kisah, benda, tokoh, situs misi tertentu. Garis oranye menunjukkan hubungan situs misi KAS ( Keuskupan Agung Semarang ) yang ada di Museum Misi Muntilan

Beberapa koleksi Musium Misi Muntilan

Sajian koleksi di Museum Misi berdasarkan konsep - konsep misioner.

Pelayanan pengunjung Museum Misi Muntilan

Pelayanan kunjungan dari aneka kelompok, baik dari mancanegara maupun domestik.

Selasa, 10 Mei 2016

Novena Misioner Malem Slasa Kliwon di Kerkof Rm. Sandjaja: Lembaga Hidup Bhakti dan Keterlibatan dalam Dunia Politik dan Budaya



Novena Slasa Kliwonan ke 9 membahas karya-karya Gereja berkaitan dengan kebudayaan. Gereja sangat kaya dengan simbol-simbol kebudayaan. Kebudayaan dan seni menjadi ruang dialog yang mempertemukan aneka macam kebudayaan, bahkan aneka macam kepercayaan. Bagaimana selama ini kita memaknai budaya dan seni? Perjumpaan dengan kebudayaan dalam ranah pembicaraan teologi masuk dalam pembelajaran mengenai inkulturasi. Apa inkulturasi itu?

 
 “Inkulturasi bukan hanya adaptasi atas pola Kekristenan yang sudah ada ke dalam situasi aktual, tetapi lebih dari itu merupakan perwujudan Sabda ke dalam diri Gereja lokal. Ini adalah basis dan proses dasar inkulturasi … Dalam proses inkulturasi orang menerima sabda, menjadikannya dasar hidup, nilai, kebiasaan, dan ungkapan kehendak. Dengan cara inilah orang menjadi bagian dari Tubuh Kristus di sini dan saat ini – sebagai Gereja lokal … Komunitas menemukan identitas baru tanpa kehilangan kekayaan budayanya karena mengintegrasikannya secara utuh sebagai sakramen cinta Allah yang membebaskan manusia” (FAPA I, 16, 23 – dokumen FABC I).


Tulisan di atas adalah hasil refleksi para Uskup Asia pada sidang FABC tahun 1985. Asia memiliki sejarah panjang dan terus menerus membuat terobosan untuk mewartakan Injil dalam keanekaragaman budaya dan agama.
Jauh sebelum kata inkulturasi ditemukan, para misionaris kepulauan Nusantara sudah menyadari persinggungan budaya yang akan terjadi ketika Injil diwartakan. Romo Palinckx pada tahun 1859 sudah mewanti-wanti dengan pokok-pokok catatan ketika seorang misionaris memulai karya misinya, terutama di Jawa. Setahun dua tahun pertama para misionaris dilarang untuk bicara agama, tetapi masuk ke pedalaman-pedalaman dan dengan sabar mempelajari bahasa Jawa. Demikian juga halnya yang dibuat oleh Romo Hoevenaarst dan Romo van Lith.
Romo van Lith melanjutkan pengembangan pengajaran dengan bahasa, gamelan, tembang-tembang Jawa, dan wayang. Lebih dari itu, Romo van Lith tidak hanya mempelajari budaya Jawa sekedar sebagai sarana bermisi, namun bahkan menurut kesaksian para muridnya, tutur kata, cara hidup, dan laku Romo van Lith sudah dianggap ‘lebih Jawa daripada orang Jawa sendiri’.
Ke-Jawa-an Romo van Lith ini terasa dalam terjemahan doa Bapa Kami ke dalam nuansa Jawa ini:
Kangdjeng Rama ing swarga,
Soemongga angloehoeraken asma dalem
Soemongga andjoemenengaken kraton dalem
Soemongga sakarsa dalem kaleksanana ing donya 
kados ing swarga
Abdidalem njadong paring dalem redjeki kangge sapoenika
Sakatahing dosa kawoela njoewoen pangaksama dalem
dene abdidalem sampoen angapoenten lepatipoen sesami
Abdidalem soepados lepat saking panggoda
Saha mardika saking pihawon. Amin.


Gereja dan kebudayaan

Kini kebudayaan tidak hanya dipahami sebatas bahasa, kesenian, atau pakaian. Kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup masyarakat di suatu tempat. Injil diwartakan bukan kepada benda-benda mati, melainkan kepada orang-orang dengan cara hidup dan konteks tertentu. Bisa jadi satu dan lain tempat memiliki kekhasan masing-masing. Namun demikian, itu semua merupakan bagian dari hidup Gereja juga, karena: 

Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.(GS 1).
Sebagaimana Romo van Lith menyelami hidup orang Jawa dengan simbol-simbol ekspresi seni dan bahasa, Gereja juga erat dengan simbol-simbol ekspresi budaya dalam rangka berbagi kegembiraan, harapan, duka, dan kecemasan dengan masyarakat dimana Gereja berada. Orang Jawa mengenal kata “tontonan lan tuntunan.” Simbol-simbol kesenian menjadi simpul-simpul pesan reflektif pemaknaan terhadap hidup sehari-hari. Orang menonton drama kethoprak yang mengharu biru, menonton gerak tari jathilan yang bersemangat, macapatan yang mendayu-dayu bukan semata-mata sebagai pertunjukan hiburan, melainkan sebagai sebuah ketakziman saat reflektif untuk mengambil jarak dari kehidupan.
Muntilan yang dikatakan sebagai Bethlehem van Java oleh Romo van Lith ini hidup karena aliran sumber-sumber mata air yang berhulu di Merapi dan Merbabu. Kedua gunung itu ternyata bukan hanya mengalirkan kesuburan dan sumber pangan, tetapi juga mengalirkan ragam seni dan kebudayaan sebagai tuntunan.
Belajar dari Romo van Lith dan sadar pada situasi tersebut, dibuatlah ruang dialog kehidupan melalui dialog ekspresi seni budaya dalam kegiatan-kegiatan Gelar Budaya Misioner. Gelar Budaya Misioner tahun 2012 dilaksanakan sebagai untuk memulai jaringan misioner lintas kelompok seni dan agama, dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 2012. Gelar Budaya Tahun 2013 mengambil tema “Bangga Dalam Budaya, Gembira Dalam Bersaudara, Berkobar Dalam Nasionalisme Indonesia.” melanjutkan semangat Gelar Budaya tahun sebelumnya dan secara khusus memaknai Hari Pahlawan dengan semangat patriotisme dan nasionalisme orang-orang muda. Gelar Budaya ini dipuncaki dengan pentas ketoprak gabungan berjudul Paseduluran Tanpa Tepi yang disutradarai oleh Bapak Bondhan Nusantara. Gelar Budaya tahun 2014 merupakan gerakan sinergi bersama dengan Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, Komisi Kepemudaan KAS, dan Komisi Karya Misioner dalam bentuk Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman. Gelar budaya ini diselenggarakan dengan rangkaian seminar dialog lintas agama, pertunjukan seni, dan bazaar produk-produk peternakan, pertanian, dan pangan.

Gelar Budaya 2015: Ngrukti Kali: Ngruwat Lamat
Alam adalah rumah kita. Kalau kita memahami rumah sebagai tempat budidaya kehidupan, regenerasi keturunan, pewarisan nilai, budidaya cintakasih, penyemaian iman, bertumbuhnya panggilan kesucian, pelatihan tanggungjawab, dan aneka macam kebaikan lainnya, demikian pula dengan alam. Dalam ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus mengingatkan tanggungjawab kita sebagai orang beriman terhadap alam.
Itulah gagasan dasar Gelar Budaya tahun 2015. Konkritnya, kepedulian akan alam tersebut diwujudkan dengan perhatian pada kebersihan dan kelestarian kali Lamat. Kali Lamat mengalir dari Merapi, melewati desa-desa dan membelah Muntilan persis di samping kompleks Misi Muntilan. Kali Lamat menjadi saksi sejarah sejak Romo van Lith menyemaikan benih iman perdana di Bethlehem van Java. Kali ini juga menjadi cermin budaya hidup manusia di sekitarnya. Sayangnya cermin itu keruh oleh sampah.
Gerakan Ngrukti Kali Ngruwat Lamat dimulai dengan gerakan turun kali untuk membersihkan sungai dari sampah. Gerakan bertahap ini dibuat dengan melibatkan anak-anak sekolah, komunitas-komunitas peduli alam, instansi pemerintah, dan juga warga masyarakat di sekitar Kali Lamat. Digelar ruwatan kali Lamat untuk meruwat kali yang terancam oleh manusia. Ada pula sarasehan-sarasehan mengenai Kali Lamat dan sejarahnya. Kesenian-kesenian digelar untuk merefleksikan relasi manusia dengan alam, ada Ketoprak Golek, ada tarian Jingkrak Sundang, ada Wayang Gunung yang unik dan menggelitik.
Namun demikian, perhatian pada alam ciptaan tidak cukup hanya dengan satu kali momen Gelar Budaya ini. perhatian pada alam ciptaan membutuhkan pertobatan budaya cara hidup manusia. Oleh karena itu, masih perlu menjadi pemikiran lanjutan untuk mengelola kesadaran berkaitan dengan pelestarian, penjagaan, dan perawatan alam ini.  















Senin, 09 Mei 2016

Novena Misioner Malem Slasa Kliwon di Kerkof Rm. Sandjaja; Lembaga Hidup Bhakti dan perhatian kepada Anak Jalanan dan Korban Narkoba



Bruder Karitas: Kunci untuk Kembali


Kunci
Lembaga rehabilitasi itu dinamakan Kunci. Mengapa dinamakan kunci, pertama tempat rehabilitasi ini menginduk dan berkiblat pada tempat rehabilitasi penyalahgunaan narkoba di Belgia yang digerakkan oleh sebuah kelompok awam bernama De Sleutel. De Sleutel secara harafiah adalah kata dalam bahasa Belanda yang berarti Kunci. Kedua, kata “kunci” menekankan sikap dasar rehabilitasi yang ingin mengembalikan para korban penyalahgunaan narkoba supaya dapat memegang kembali kunci masa depan hidupnya pada kemandirian dan lepas dari ketergantungan zat-zat adiksi apapun.
Lembaga ini resmi didirikan pada tanggal 1 November 2005 oleh Br Rene Stockman FC. Beberapa orang secara khusus dididik untuk mengembangkan lembaga ini, sampai sekarang. Para Bruder Karitas berpegang teguh pada karya ini sebagai salah satu bentuk kesetiaan terhadap tantangan zaman yang mendesak untuk dijawab di jaman ini. Sampai saat ini, lembaga Kunci ini masih menjadi satu-satunya lembaga resmi dalam Gereja Katolik di Keuskupan Agung Semarang yang menjadi rujukan berbagai badan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. 

Merawat
Pada tanggal 8 Desember 1807 Pastor P.J. Triest dari Belgia memberikan nama bagi sekelompok pemuda yang dikumpulkan dan dididiknya untuk menjadi perawat-perawat rumah sakit dengan nama Bruder-Bruder Rumah Sakit dari St. Vincensius. Itulah titik awal dari Tarekat Bruder Karitas. Sampai saat ini, Tarekat Bruder Karitas sudah berkembang dalam pelayanan di 25 negara di seluruh dunia.
Semangat untuk merawat ini menjadi ciri khas karya para bruder Karitas. Sebelum mulai dengan pusat reahbilitasi, para Bruder Karitas sudah menyumbang untuk perkembangan gereja dan masyarakat dengan kehadiran sekolah-sekolah Bruderan Karitas.
Lembaga Rehabilitasi Narkoba Kunci Yogyakarta adalah salah satu bidang karya para Bruder Karitas yang berlokasi di Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman. Lembaga ini menjalankan dua program, yaitu pemulihan penyalahguna Narkoba, dan pencegahan penyalahgunaan Narkoba dengan seminar, ceramah atau pelatihan. 


Rehabilitasi berbasis Keluarga.
Untuk program rehabilitasi sendiri diselenggarakan metode Therapeutic Community. Metode ini melibatkan keluarga dan komunitas sebagai partner pemulihan dan pencegahan penyalahgunaan narkoba. Keluarga dan komunitas berperan penting sejak memutuskan seseorang masuk dalam proses rehabilitasi, dalam proses konseling, dan dalam proses pembangunan kembali motivasi hidup seorang pecandu. Di lembaga ini, seorang pecandu dikatakan sudah dalam tahap sembuh jika sudah kembali bisa memerankan fungsi sosialnya di tengah keluarga dan komunitas masyarakat. Oleh karenanya Lembaga Kunci membuka jejaring relasi dengan banyak pihak demi menyadari bahwa masalah narkoba ini sangat kompleks dalam penyelesaiannya.

Informasi lengkap Bruder Karitas, Lembaga Rehabilitasi Narkoba Kunci:
Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman.
Yogyakarta Tlp (0274) 624747 dan (0274) 7171786



 



Minggu, 08 Mei 2016

Novena Misioner Malem Slasa Kliwon di kerkof Rm. Sandjaja; Lembaga Hidup Bhakti dan Karya kepedulian pada kaum Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel (KLMTD)



Suster-Suster PPYK:
Hadir untuk mereka yang ditolak

PPYK, Siapakah mereka?
Secara resmi, PPYK adalah Perserikatan Privat Kaum Beriman Kristiani ( bdk. Kanon 298 – 311 serta Kanon 321 – 329 ) yang menuju Tarekat Hidup Bakti Biarawati Karmel St. Theresia Lisieux. Para suster PPYK menghayati ciri hidup seorang Karmel, sebagai rasul-rasul kontemplatif. Bunda Maria, Nabi Elia dan tentunya hidup Yesus Kristus sendiri menjadi model dan panutan di dalam menghayati gaya hidup tersebut dengan menjadikan St. Theresia Lisieux sebagai teladan bagi penghayatan cara hidup PPYK.
Dibalik itu, menurut Alm Mgr Kartasiswaya, wajah para suster PPYK bisa digambarkan sebagai
“… sekelompok wanita-wanita yang dengan setia dan tekun terus berdoa bagi Gereja dan dunia … sekelompok wanita-wanita yang memiliki hati dan cinta untuk senantiasa menghadirkan Allah dalam diri anak-anak yang terlantar …”


 Bagaimana karya pelayanan mereka?
Sejak dirintis oleh ibu Melania Sidik di Dusun Kedungsriti, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman pada tahun 1989, para suster PPYK setia berkarya untuk hadir bagi “mereka yang ditolak”. Setiap anggotanya berusaha menjalin relasi intim dengan Allah dengan penuh sukacita dan kegembiraan serta dalam semangat persaudaraan dan kesederhanaan hidup yang diwujudnyatakan dalam pelayanan kasih kepada sesama yang miskin, lemah, tersingkir dan secara khusus mengalami penolakan dalam hidup.
Mereka yang didampingi oleh para suster PPYK terutama adalah anak-anak. Sampai saat ini masih ada 43 anak yang tinggal dalam asuhan suster-suster PPYK. Anak-anak tersebut datang dari berbagai tempat di seluruh penjuru Indonesia, dari berbagai kalangan, dan dari berbagai latar belakang agama. Ada yang datang dalam kandungan ibunya, ada yang datang ketika masih kecil, dan ada yang datang sudah cukup besar. Rata-rata mereka datang dengan kisah hidupnya masing-masing. Anak yang ditolak karena kelahirannya tidak diharapkan, anak-anak yang dianggap “nakal”, atau yang tidak terpelihara karena berbagai alasan.
PPYK membatasi pendampingan untuk anak-anak sampai usia SMA saja. Sesudah itu diharapkan mereka bisa mandiri atau sudah kembali diterima oleh keluarga mereka.
Selain mereka yang tinggal dalam panti, para Suster PPYK juga aktif membantu pengembangan ekonomi rumah tangga dan bantuan beasiswa untuk lebih dari 200 anak usia sekolah yang tinggal di sekitar biara PPYK.

Tantangan karya
“Ada orang yang mengatakan bahwa kami melestarikan kenakalan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kami mendukung sex bebas dengan mendampingi kelahiran anak-anak yang tidak diinginkan oleh bapa ibunya dan merawat anak-anak mereka sekalipun orangtuanya pergi. Kami tidak (mendukung). Tuhan yang bawa mereka kepada kami setelah mereka ditolak dimana-mana, dan kami membantu mereka yang ditolak supaya bisa lanjutkan hidup,” demikian Sr Yohana, PPYK menjelaskan. 


Informasi lebih lanjut mengenai karya dan
pendampingan para suster PPYK
bisa dengan mengunjungi biara PPYK di:

Kedungsriti, Umbulharjo,
Cangkringan, Sleman, Tlp 08112655291
 atau
Kregan, Pakemgedhe, Pakembinangun,
Pakem Sleman, Yogyakarta. Tlp (0274) 896378.

Sr Theresia (Pimpinan Umum) 085643111197
Sr Santi (Wakil Pimpinan Umum) 081225555504.